banner

Korban Bertransformasi Menjadi Pelaku

Korban kekerasan dua kali lebih beresiko menjadi pelaku kekerasan. Apabila ini terjadi, maka siklus kekerasan tak terhindarkan dan menjadi lingkaran setan yang terus berulang. Berdasarkan survei, jumlah pelaku kekerasan jauh lebih banyak dibandingkan jumlah korbannya. Bahkan, 80,03% dari pelaku tidak pernah mengalami kekerasan sebelumnya. Ini artinya, siklus kekerasan tidak hanya dapat dimulai dari korban saja, melainkan orang 'biasa' yang sebelumnya tidak pernah terlibat langsung dalam kekerasan memproduksi kekerasan. Ini terjadi salah satunya karena faktor keterpaparan terhadap kekerasan melalui proses pembelajaran sosial lewat pengamatan dan penguatan sosial.

banner

Turning The Tables: Menyusuri Jalan Korban yang Menjadi Pelaku

Perubahan peran dari korban menjadi pelaku terjadi karena berbagai faktor, termasuk norma budaya yang menjustifikasi pembalasan dan rendahnya kontrol diri. Masyarakat dan aparat penegak hukum juga menyoroti bagaimana trauma yang mendalam dapat mengubah korban menjadi pelaku untuk memulihkan rasa kuasa yang hilang. Kekerasan menjadi respons umum bagi mereka yang tidak melihat alternatif lain dalam menyelesaikan konflik, menciptakan siklus kekerasan yang sulit dipecahkan.

Kekerasan dan Aktor Utamanya

Kekerasan melibatkan berbagai aktor, dari individu hingga kelompok, serta institusi dan sistem sosial. Ada perbedaan yang mencolok dari kekerasan individu dan kelompok. Selain jumlah pelaku dan skala kerusakan yang diakibatkan, kekerasan individu biasanya spontan dan motifnya personal. Sementara kelompok lebih terorganisir, dan motifnya bervariasi.

Dari temuan, didapati bahwa kekerasan kolektif, seperti yang dilakukan geng motor, kelompok suporter bola, atau organisasi masyarakat dapat dimotivasi berbagai faktor termasuk ketenaran, mendapat pengakuan, atau didorong motif ekonomi hingga ideologi. Kelompok juga dapat menjadi sumber kerentanan, lantaran menjadi salah satu perantara kekerasan, di mana individu ketika tergabung dalam kelompok 'lebih berani' melakukan kekerasan. Ini yang membuat kelompok menjadi sasaran empuk untuk ditunggangi dan dimobilisasi demi kepentingan tertentu. Contohnya, kelompok Gagak Hitam dan Anarko di Sulawesi Selatan. "Siapa duga, bahwa kesukaan seseorang pada sepakbola dapat berujung di perilaku kekerasan? Banyak ruang untuk melakukan kekerasan. Pada akhirnya banyak hal yang kita sering luput. Tugas polisi bukan untuk menjelaskan kekerasan, tapi memahaminya mutlak menjadi keharusan. Bahwa kekerasan dapat lahir dari siapa saja, termasuk individu, aparat, maupun masyarakat. "