banner

Memahami Ketidakadilan Sebagai Pemicu Kekerasan

banner

Memahami Ketidakadilan, Menghadirkan Keadilan

Indonesia, dengan sejarah panjang penjajahan dan konflik, masih menyisakan luka ketidakadilan yang dalam di berbagai wilayah seperti Aceh dan Papua. Meski perdamaian fisik telah tercapai, perasaan tidak adil tetap mengakar kuat. Data survei menunjukkan bahwa 20,6% responden menempatkan kesetaraan sebagai elemen utama dalam konsep keadilan, sementara 17,6% lainnya mengaitkan keadilan dengan pemenuhan "hak bangsa," yang mencerminkan pentingnya hak-hak kolektif di tingkat nasional. Ketika kesetaraan ini tidak tercapai—misalnya, dalam distribusi sumber daya atau akses terhadap kekuasaan—ketidakpuasan berkembang menjadi ancaman nyata bagi stabilitas sosial. Di Aceh, banyak yang merasa hasil sumber daya alam tidak sepenuhnya kembali kepada masyarakat lokal, sementara di Papua, ketidakadilan semakin diperparah oleh perasaan diabaikan dalam proses pembangunan. Untuk menghadirkan keadilan yang sejati, pemerintah harus mengatasi tidak hanya ketidakadilan hukum, tetapi juga memperhatikan perasaan dan persepsi yang telah lama diabaikan oleh masyarakat.

banner
banner

Ketidakadilan, Akar Kekerasan?

Ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat, terutama di daerah yang terpinggirkan, sering kali menjadi pemicu utama konflik kekerasan. Data menunjukkan bahwa 27,6% responden mengaku sering diperlakukan tidak adil, dengan 25,3% lainnya mengalami ketidakadilan sosial dalam bentuk diskriminasi pendidikan, pelayanan, atau pekerjaan. Di Papua, respons terhadap ketidakadilan ini bahkan dapat berbentuk kekerasan, terutama di wilayah pegunungan di mana dialog tidak dianggap efektif. Ketidakadilan dalam aspek politik dan ekonomi, seperti dalam kasus protes petani di Kendeng yang menolak pembangunan pabrik semen, menunjukkan bahwa rasa kehilangan sumber penghidupan bisa mendorong tindakan agresif. Pendekatan pemerintah yang kurang sensitif dapat memperburuk situasi ini, memperbesar potensi konflik. Oleh karena itu, respons yang lebih empatik dan inklusif dari aparat sangat diperlukan untuk meredam ketegangan dan membangun kembali kepercayaan masyarakat.