Masalah kekerasan di Indonesia bukan terletak pada kurangnya aturan, melainkan pada ketidaktegasan aparat hukum dalam menerapkannya. Hasil survei Tim Riset Kabareskrim Polri mengungkap bahwa masyarakat cenderung merasa aparat seringkali tidak konsisten dalam menangani kasus kekerasan, sehingga persepsi terhadap efektivitas penegakan hukum menjadi negatif. Beberapa responden juga mengungkapkan bahwa maraknya pembiaran oleh aparat dalam kasus-kasus kekerasan, khususnya yang melibatkan konflik antar kelompok, membuat masyarakat semakin tidak percaya pada kemampuan institusi hukum dalam memberikan perlindungan..
Vigilantisme, salah satunya, dapat terjadi karena masyarakat mempersepsikan pihak otoritas lemah dalam menjalankan fungsinya. Temuan lapangan menunjukkan bahwa masyarakat sering kali merasa perlu "turun tangan" sendiri untuk menegakkan keadilan. Hal ini kemudian berujung pada aksi main hakim sendiri, vigilantisme versi Indonesia.
Kepercayaan masyarakat terhadap Kepolisian masih relatif tinggi, terutama berkat keberadaan Bhabinkamtibmas. Namun, masyarakat masih melihat ketidakkonsistenan aparat dalam menegakkan hukum. Bentuk ketidakkonsistenan ini antara lain pembiaran pelanggaran-pelanggaran kecil, terkadang bias, dan pemberian sanksi yang tidak sepadan.
Kekerasan dianggap sebagai siklus yang terus berulang karena pembiaran pada berbagai level, mulai dari sisi edukasi, aksi kekerasan itu sendiri, hingga lemahnya penegakan hukum. Hasil temuan lapangan juga mengungkap bahwa kekerasan sering kali dipelajari dari lingkungan sekitar, memperkuat siklusnya. Penegakan hukum yang tegas, adil, dan konsisten diperlukan untuk memutus rantai kekerasan ini.