Masyarakat, sebagai stakeholder utama, tidak bisa hanya dijadikan objek dalam pengelolaan kekerasan. Masyarakat harus diperlakukan sebagai kumpulan individu yang masing-masing memiliki personal agency, kemampuan untuk menginisiasi dan mengarahkan tingkah lakunya menuju pencapaian suatu tujuan (Zimmerman & Cleary, 2006). Dan dalam hal ini memiliki harapan dan pandangan tentang pengelolaan kekerasan.
Penegakan hukum di Indonesia dinilai masih belum memadai oleh masyarakat, yang merasa bahwa penegakan hukum cenderung tidak responsif, tidak tepat, dan tidak adil. Masyarakat berharap adanya penanganan kekerasan yang lebih adil dan persuasif, terutama dalam konteks Pilkada Serentak 2024. Ketidakpuasan terhadap profesionalitas aparat yang dianggap kurang peduli dan tidak netral juga menjadi isu utama, yang dikhawatirkan akan memicu kekerasan jika tidak ditangani dengan baik.
Masyarakat mengidentifikasi dua isu utama yang berpotensi memicu kekerasan. Pertama, isu yang berpotensi langsung berupa konflik SARA, dengan agama sebagai faktor yang paling serius dan memicu kekhawatiran besar, terutama menjelang Pilkada Serentak 2024. Kedua, isu yang berpotensi tidak langsung adalah ketidakadilan, di mana ketidakadilan sosial dan ekonomi dianggap sebagai ancaman laten yang dapat memicu kekerasan di kemudian hari jika tidak segera ditangani.
Fenomena transisi antara dunia maya dan dunia nyata semakin tak terpisahkan, demikian pula potensi termanifestasinya kekerasan di dunia nyata dari konflik di ruang siber. Hoaks, dalam rupa disinformasi dan misinformasi, apalagi menggunakan isu SARA, akan cepat menyebar dan sulit dibendung, berpotensi melahirkan kekerasan di dunia nyata. Masyarakat berharap agar pemerintah lebih proaktif dalam menangani hoaks, tidak hanya dengan menangkap pelaku tetapi juga dengan menyebarluaskan fakta secara cepat dan masif.