Acapkali saling terkait, kekerasan berbeda dengan konflik. Masyarakat memaknai kekerasan sebagai bentuk eskalasi dari konflik yang tidak diselesaikan dengan damai, yang menyalahi nilai-nilai, keselamatan serta keadilan. Kekerasan bersifat destruktif, berupa perbuatan atau perkataan yang membuat tidak nyaman dan merugikan orang lain dengan digunakannya kekuatan baik fisik, verbal, struktural maupun kultural. Adapun kekerasan tidak selalu diproduksi murni secara intensional, terkadang dianggap sebagai wujud pertahanan atau pembelaan terhadap martabat, harga diri dan nilai dari ancaman. Tak lagi sebatas realitas yang tampak di jagat nyata, merambahnya kekerasan ke ruang siber menuntut pemahaman tentang kekerasan yang kian kompleks.
Satu dari lima orang masyarakat di Indonesia pernah terpapar langsung mengalami kekerasan. Mayoritas (55,72%) terpapar dengan kekerasan verbal lewat cacian dan makian kasar. Meskipun jumlahnya hanya 20,57%, namun dengan sifatnya yang pervasif, keterpaparan ini dapat terus menjalar dan menular dari individu ke individu lainnya. Sebab paparan kekerasan tidak hanya lewat kontak fisik saja, mereka yang melihat dan mendengar peristiwa kekerasan secara tidak langsung juga ikut terpapar. Sehingga ini bukan lagi soal angka, melainkan keniscayaan kekerasan akan memberikan dampak keterpaparan yang sangat luas di masyarakat, mulai dari trauma individu hingga kerusakan sosial. Bahayanya lagi, paparan ini berpotensi melahirkan kekerasan baru jika tidak diantisipasi.
Pembiaran terhadap kekerasan, baik oleh otoritas penegak hukum maupun masyarakat, dapat memperparah siklus kekerasan. Namun, pembiaran tersebut terjadi bukan karena ketidakpedulian otoritas ataupun kurangnya empati masyarakat setempat. Tagar “No Viral No Justice” yang viral meskipun efektif untuk mendorong penyelesaian masalah tapi tidak menjelaskan realita proses penanganan yang sebenarnya. Terhambatnya proses penanganan masalah oleh otoritas kerap dihadapkan berbagai faktor internal maupun eksternal. Internal dari sisi penegakan hukum seperti kurangnya bukti dan usia pelaku di bawah umur. Eksternal meliputi latar belakang isu yang sensitif (menyinggung SARA), keterjangkauan lokasi, geografis hingga medan di wilayah. Termasuk juga sisi masyarakat yang masih kurang kesadaran hukum, enggan menjadi saksi, menolak melapor demi menjaga relasi dengan pelaku atau orang sekitar, hingga benturan dengan hukum adat.
Norma sosial seringkali melegitimasi kekerasan, seperti dalam mendisiplinkan anak atau mempertahankan tradisi. Dengan membenarkan kekerasan sebagai bagian dari norma sosial, masyarakat secara tidak langsung mempertahankan dan memperpetuasi siklus kekerasan. Di beberapa budaya, kekerasan dipandang sebagai alat untuk mencapai keadilan, seperti budaya balas dendam di Papua. Mengintervensi kekerasan yang berkaitan dengan norma budaya memerlukan pendekatan empatik dan dialogis dengan tokoh lokal. Sebab ini bukan menyoal mengubah kebiasaan, melainkan menginjeksikan nilai-nilai kedamaian dan harmoni dalam merespon permasalahan dengan cara yang tetap menghargai keunikan budaya.
Bersembunyi di balik suatu sistem, terdapat kekerasan yang dibangun lewat struktur sosial, politik dan ekonomi yang menciptakan kondisi ketidaksetaraan, disebut sebagai kekerasan struktural. Kekerasan ini melekat secara sistemik hingga bisa begitu saja diterima sebagai suatu alami dan wajar. Meskipun tidak gamblang terlihat, kekerasan struktural punya dampak yang sangat merugikan secara luas. Beberapa contoh yang ditemukan di wilayah adalah diskriminasi kelompok minoritas (agama, etnis), hak politik (hak berpartisipasi, hak memilih), dan ketidakadilan.
Diskriminasi menjadi bentuk kekerasan yang laten. Setiap saat dapat mengancam keamanan dan sewaktu-waktu punya potensi bermanifestasi menjadi kekerasan fisik. Hingga hari ini, 12,18% masyarakat di Indonesia masih merasakan diskriminasi. Mulai dari pembatasan akses, kegiatan, pemaksaan, di berbagai domain sosial, politik hingga agama. Di Jawa Barat, diskriminasi agama menjadi isu serius, terutama antara kelompok mayoritas Nahdlatul Ulama dan minoritas Syiah. Di Papua, diskriminasi terkait hak politik Orang Asli Papua (OAP) mempertajam isu ketidakadilan dan memicu konflik. Benih kekerasan akan berkembang subur di tengah diskriminasi, dan pecahnya konflik bukan lagi perkara potensi. Apalagi bila tidak diatasi, tinggal menunggu waktu sampai akhirnya kekacauan terjadi.
Konflik berkekerasan di masyarakat sering kali dipicu oleh isu-isu identitas, persaingan sumber daya, hingga sentimen etnis dan agama. Sebanyak 42% responden mengaku pernah mengalami konflik berkekerasan di lingkungan mereka. Meskipun konflik kekerasan antar kampung termasuk paling tinggi (60,42%), bukan berarti konflik lainnya seperti separatisme, antar etnis ataupun agama kecil potensi eskalasinya menjadi kekerasan. Nyatanya, provokasi yang membuat bentrok antar kelompok seringkali memuat unsur SARA. Di Papua, Sulawesi Selatan, dan Riau, kekerasan akibat isu SARA di sebagian besar kelompok masyarakat masih meninggalkan jejak teror yang sebisa mungkin masyarakat hindari.
“Memahami kekerasan adalah upaya kita melihat dari balik tirai, apa yang terjadi di balik perilaku kekerasan dan menyelami cerita serta kondisi yang melatarbelakanginya. Karenanya, dengan memahami makna dan seluk beluk kekerasan, kita tidak hanya lebih fasih mengobati gejala di permukaannya, namun juga mengatasi masalah dari akarnya.”